Tunjukkan Kreasimu

BELAJAR BERKREASI

Terimakasih Kepada Rekan-rekan yang Telah Berkunjung

Sabtu, 25 Agustus 2018

Manusia atau Satwa, Keduanya Diupayakan Selamat

Tim sedang melakukan pemantauan gajah dengan mengecek jalur dan boli gajah yang masih segar



Jumat, 24 Agustus 2018 pukul 14.00 WIB, tim bergerak dari kantor Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Semaka, menuju Rhino Camp Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Di lokasi ini, tim Balai Besar TNBBS yang terdiri saya, Mad Nurzen, dan Sarkup mencari informasi keberadaan 12 ekor Gajah sumatera kepada warga yang pulang dari Talang Bambang maupun Talang Banyu Urip. Anggota mitra taman nasional, Fery dari Repong Indonesia, Ismail dan Feri dari Wildlife Nature Conservation-Indonesia Programme juga menjadi bagian tim ini.

Selang tak berapa lama, kami berjumpa Mbah Jumari pulang dari Talang Bamban. Pria paruh baya ini mengatakan gajah berada di Talang Bamban, posisinya setelah Simpang Keramat. Informasi ini kami catat dan tetap mencari informasi dari sumber lainnya.

Selama dua setengah jam, kami tetap berjaga di Rhino Camp untuk mencegah warga yang hendak masuk ke Talang Bamban dan Talang Banyu Urip, juga mengumpulkan informasi dari warga yang pulang dari kedua talang tersebut.  Kedua talang, lokasinya berada di Hutan Lindung Register 31 Kotaagung Utara. Kendati hutan lindung, fakta di lapangan telah menjadi kebun kopi dan kakao. Lokasinya dapat diakses menggunakan sepeda motor, juga berbatasan dengan TNBBS.

Pukul 16.30 WIB tim bergerak menuju Talang Bamban. Namun, 15 menit perjalanan sebelum sampai lokasi pemukiman di talang tersebut, setelah Simpang Keramat, kami menjumpai jalur baru dan boli gajah liar yang masih segar di setapak jalan menuju pemukiman Talang Bamban. Temuan ini sesuai informasi Mbah Jumari.

Kami memutuskan berhenti untuk mengecek menggunakan telemetri. Alat ini untuk mendeteksi keberadaan gajah liar yang telah dipasang GPS collar sejak beberapa bulan lalu. Kira-kira jangkauan deteksinya sampai satu kilometer. Tak sampai satu menit, kami belum sempat menggunakan telemetri, gajah bersuara memberi peringatan. Kami pun berlari di setapak sejauh 50 meter, dan berhenti sejenak memperhatikan keadaan.  Di rasa aman, tidak ada pergerakan gajah, kami pun perlahan kembali mengambil motor yang kami tinggalkan. Motor kami tuntun menanjaki bukit sejauh 30 meter agar tak bersuara dan bisa mendengar suara deteksi telemeteri. Alat penangkap gelombang yang telah kami nyalakan ini pun mendeteksi, bunyi dup… dup… dup… intensitas rapat dan suara kuat.

Usui menuntun, kami pun bergegas memacu sepeda motor menuju Simpang Keramat, 500 meter dari lokasi terakhir kami singgah. Di Simpang Keramat, signal masih terdeteksi. Tim sepakat mundur menuju punggung bukit untuk lebih mudah melihat ke beberapa sisi. Harapannya agar lebih mudah melihat pergerakan gajah yang berada di balik bukit lainnya di depan bukit kami berada.

Menjelang maghrib, kami memutuskan menuju persimpangan jalan menuju Talang Banyu Urip. Kami mendengar deru motor dari arah Talang Banyu Urip. Kami pun melantangkan sirine megaphone memberi peringatan. Selang lima menit, dua motor sampai ke lokasi kami berada, dua orang pengendara motor itu pun kami minta bergegas keluar dari kawasan hutan lindung, demi keselamatan. Sepuluh menit kemudian, kami kembali ke kantor bidang.

Kendati pemukiman di Talang Bamban dan Banyu Urip berada di hutan lindung, namun kami dari pihak taman nasional berusaha memberi peringatan kepada warga agar tidak menuju kedua talang tersebut, untuk keselamatan jiwa. Warga-warga itu bukanlah eksodus. Memiliki rumah di desa-desa di luar hutan lindung di Kecamatan Semaka dan sekitarnya. Kami mengingatkan di dua talang itu ada gajah, yang sebulan lalu telah digiring ke taman nasional tapi kembali lagi ke rumahnya di hutan lindung. Kami selalu berharap tidak jatuh korban, baik manusia maupun gajah liar saat keduanya berhadapan, karena keduanya makhluk ciptaan Tuhan Sangpencipta.

Sebagai bahan renungan siapa saja, jika memang masih berdalih menggarap hutan menjadi kebun untuk kebutuhan ekonomi, tetap berfikirlah mengutamakan keselamatan jiwa. Jangan sombong lebih hebat karena kita manusia menyebut lebih mulia dan berakal. Gajah ciptaan Tuhan, saya pribadi tidak dapat menjangkaunya mengapa gajah diciptakan jika menurut saudara mengganggu dan merusak. Mungkin saudara lebih paham.

Gajah penghuni hutan lindung yang merusak gubuk dan memakan tanaman budidaya di pemukiman ilegal pun tidak pas jika dikatakan mengganggu. Karena faktanya, manusialah yang telah merenggut rumah gajah. Kita yang berakal tentu memahami bahwa satwa butuh pakan dan berbiak di rumah sendiri. Namun, bisa jadi tidak mau paham, karena alam ciptaan Tuhan saja, manusia merusaknya. Hmmm…



“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” Q.S Ar-Ruum ayat 41



Renungan lainnya, manusia pun merantau bekerja dilakukan untuk nafkah termasuk makan. Entah itu pekerjaan baik, tercela, bahkan kejahatan sekalipun, makanan minuman haram pun dikonsumsi. Padahal manusia memiliki akal. Pemahaman saya yang dangkal lantas bertanya-tanya, disebut apakah manusia yang tidak menggunakan akalnya dengan bijak?